Berita Publikasi Siaran Pers Tak Berkategori

Peresmian Rumah Juang Rakyat “17 Tahun LBH Pekanbaru: Memperkuat Gerakan Rakyat untuk Merebut Ruang Hidup dari Genggaman Oligarki”

Peresmian Rumah Juang Rakyat

“17 Tahun LBH Pekanbaru: Memperkuat Gerakan Rakyat untuk Merebut Ruang Hidup dari Genggaman Oligarki”

Senin (10/10), LBH Pekanbaru adakan kegiatan peresmian kantor baru dan diskusi publik. Kegiatan yang bertepatan dengan hari ulang tahun LBH Pekanbaru ke 17 ini, ditujukan sebagai momentum refleksi dan evaluasi serta memperkuat solidaritas antar elemen gerakan rakyat. Acara yang bertema “Gerakan Rakyat Untuk Merebut Ruang Hidup dari Genggaman Oligarki di Provinsi Riau” ini, dibagi dalam dua sesi diskusi yang diselingi oleh orasi dan testimoni rakyat, pembacaan puisi, serta penampilan musik.

Pada sesi pertama, diskusi diisi oleh Suryadi, Ketua DPD IKADIN Riau serta Made Ali, Koordinator JIKALAHARI. Diskusi yang dimoderasi oleh Andi Wijaya ini, membahas tentang “Gerakan Sosial sebagai Ruh Bantuan Hukum dan Perjalanan LBH Pekanbaru dari Masa ke Masa.” Suryadi, yang juga merupakan mantan Direktur LBH Pekanbaru ini mengatakan, sejak LBH Pekanbaru berdiri pada 2005 silam, alasannya tidak dapat dilepaskan dari banyaknya perampasan lahan yangterjadi akibat industri ekstraktif yang berdiri di Provinsi Riau, seperti perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan pertambangan mineral batubara. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat maraknya pembakaran hutan dan lahan berskala luas dan mengakibatkan bencana kabut asap.

“LBH dengan Bantuan Hukum strukturalnya memiliki peran yang penting dalam melakukan advokasi kasus perampasan lahan masyarakat dan perusakan hutan yang diiringi dengan menguatnya oligarki dalam perampasan ruang hidup masyarakat terlebih lagi tidak hadirnya negara dalam pelanggaran hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan eksistensinya bahkan negara menjadi penghambat dan tidak sedikit sebagai aktor pelanggaran tersebut,” ucap Suryadi.

Hal yang sama disampaikan oleh Made Ali. Made mengatakan, peran LBH Pekanbaru sangat penting dalam rangka memperkuat gerakan rakyat yang sudah ada. Hal ini menurut Made, juga berkelindan dengan peran advokasi hukum yang sangat dibutuhkan oleh aktor gerakan rakyat di akar rumput. Peran LBH Pekanbaru tidak terlepas dari makin seringnya upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh oligarki terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan tanahnya.

“Peran LBH Pekanbaru sangat penting saat melakukan advokasi di Riau. Kegiatan ini berguna untuk merefleksikan gerakan yang selama ini dilakukan dan sebagai bahan untuk menyusun dan memperkuat gerakan rakyat yang sampai saat ini belum menyatu seutuhnya, ujar Made.

Setelah berakhirnya sesi diskusi pertama, Agil Fadlan, mahasiswa Hubungan Internasional UNRI dan Anton Budi Hartono, perwakilan masyarakat Bunga Raya, menyampaikan orasi yang berisi pengalamanan mereka dalam mengadvokasi kasus yang didampingi bersama oleh LBH Pekanbaru. Budy Utamy, seorang penulis menyampaikan orasi terakhirnya dengan mendorong LBH Pekanbaru terus menjadi ruang aman bagi seluruh elemen masyarakat.

Menjelang siang, Direktur LBH Pekanbaru bersama berbagai element masyarakat sipil lainnya menandatangani komitmen bersama sekaligus peresmian kantor baru yang dinamakan “Rumah Juang Rakyat” dan beralamat di Jalan Sapta Taruna No. 51 Kelurahan Tangkerang Utara, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru. Lantunan musik dan lagu perjuangan mengiringi berakhirnya sesi pertama.

Sesi kedua dimulai dengan pembacaan puisi oleh Budy Utamy yang ia tulis ketika bersama Masyarakat Adat Talang Mamak di Indragiri Hulu. Diskusi kedua diisi oleh Boy Jerry Even Sembiring, Direktur WALHI-Riau; Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru; Datuk Abu Garang Ninik Mamak Masyarakat Adat Pantai Raja yang dipandu oleh Haldi Yunian Ryaldi. Diskusi dengan topik bahasan “Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Adat” dan “Ancaman UU Cipta Kerja serta Jalan Panjang Masyarakat Adat Pantai Raja dalam Mempertahankan Tanahnya dari Perampasan PTPN V.”

Andi Wijaya memaparkan agenda-agenda penghancuran terhadap ruang hidup masyarakat tidak terlepas dari agenda oligarki yang menyusupi beberapa undang-undang, seperti UU KPK, UU Cipta Kerja (Omnibus Law), serta UU Minerba yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat dan tidak transparan. Selain itu, munculnya Rancangan KUHP yang disinyalir menghidupkan kembali era kolonialisme dengan pasal-pasal yang mempertahankan kekuasaan seperti pasal penghinaan presiden dan lembaga negara.

“Adanya titipan dalam pembuatan produk hukum di negeri ini, sangat berbahaya dalam usaha penyelamatan ruang hidup masyarakat adat,” terang Andi.

Seturut dengan Andi, Boy memaparkan berbagai kasus perampasan ruang hidup masyarakat adat dan konfli agraria menjadi salah dua isu penting di Riau. Boy mencontohkan, dua kelompok masyarakat ada yang dirampas hak-hak adanya adalah Suku Sakai dan Talang Mamak. Kedua suku ini sampai saat ini masih tidak diakui eksistensinya oleh negara dan terancam kehilangan identitasnya sebagai masyarakat adat.

“Masyarakat adat terancam mendapatkan kriminalisasi dengan menggunakan tindak pidana pengerusakan hutan seperti Bongku di Suku Sakai yang telah di hukum bersalah melakukan penebangan pohon akasia milik PT. Arara Abadi di Bengkalis. Padahal keyakinannya saat itu adalah membersihkan tanah ulayatnya untuk ditanami pohon ubi. Bongku hanyalah satu kasus dari banyak lainnya kasus masyarakat adat,” tegas Boy.

Selain itu, Datuk Abu Garang juga menceritakan pengalaman dan jalan panjang Masyarakat Adat Pantai Raja dalam memeperjuangkan dan mempertahankan tanah mereka dari perampasan lahan yang dilakukan oleh PTPN V. Datuk Abu Garang merupakan generasi ketiga dari Masyarakat Adat Pantai Raja yang telah memperjuangkan tanah adat mereka.

Dalam memperjuangkan tanah adat mereka, Datuk Abu Garang bersama masyarakat telah melakukan berbagai upaya, salah satunya ialah melakukan aksi protes dengan menduduki lahan adat Pantai Raja yang saat ini dikelola oleh PTPN V[1]. Namun, bukannya hal baik yang diterima, beberapa masyarakat malah dipanggil ke Polda Riau untuk memberikan keterangan.

“Namun hingga saat ini laporan tersebut alhamdulillah tidak ada tindak lanjutnya, kami meyakinin bahwa kami benar dan itu merupakan tanah adat kami,” Ujar Datuk Abu Garang.

Upaya kriminalisasi tidak berhenti sampai disitu. Datuk Abu Garang beserta kuasa hukum masyarakat digugat pada Pengadilan Negeri Bangkinang. Namun, gugatan tersebut tidak jelas maksud dan tujuannya. Yang lebih anehnya lagi, Gusdianto selaku kuasa hukum masyarakat juga menjadi bagian yang tergugat.

“Padahal kami ini selaku kuasa hukum masyarakat, malah kami ikutan digugat oleh PTPN V,” Ujar Gusdianto keheranan.

Kini, untuk terus menghidupkan api perjuangan, Datuk Abu Garang mengatakan rencananya masyarakat bersama lembaga jaringan akan berangkat ke Jakarta unuk mempertanyakan perjuangan yang telah mereka lakukan.

Setelah mendengarkan cerita yang disampaikan oleh masyarakat adat pantai raja. Diskusi ditutup dengan foto bersama dan keyakinan bahwa usaha yang dilakukan masyarakat Pantai Raja akan mendapatkan hasil.

Diskusi tersebut menggakhiri Rangkaian Peresmian Rumah Juang Rakyat “17 Tahun LBH Pekanbaru: Memperkuat Gerakan Rakyat untuk Merebut Ruang Hidup dari Genggaman Oligarki” 

Kontak Person :

Ahmad Fauzi (Ketua Panitia)


[1]  Lihat cerita lengkap konfiik laman https://www.mongabay.co.id/2021/04/17/konflik-lahan-masyarakat-adat-pantai-raja-vs-ptpn-v-tak-kunjung-usai/ ditulis Suryadi Mongabay