- KRONOLOGIS
- Pada tanggal 23 Mei 2015 terjadi tindakan asusila yang dilakukan oleh RA terhadap Bunga dikabupaten Kampar-Riau tepatnya daerah Tapung
- Kejadian bermula saat Bunga berpamitan pada ibunya pergi kerumah temannya RA.
- Saat Bunga dan RA bermain terjadilah tindakan asusila tersebut dengan cara korban di dorong jatuh ke tanah.
- Lalu RA memaksa korban untuk melepaskan pakaiannya.
- Saat kejadian korban menolak dan berusaha meronta
- Setelah kejadian Bunga melapor ke ketua RT setempat
- Ketua RT memberi kabar kepada ibu Bunga, setelah ibu mengetahui kejadiaan tersebut, h. Langsung melaporkan RA kepada pihak kapolsek Tapung
- DASAR HUKUM
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
- Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
- Putusan Mahkamah agung Nomor 1/PUU-VII/2010 Tahun 2010
- Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
- ATURAN YANG DILANGGAR
- Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dalam isi Pasal tersebut adalah : ” Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”
- Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dalam isi Pasal tersebut adalah : ” Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”
- ANALISA
- Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. tindak pidana pencabulan adalah :anak yang dapat memberikan pertanggungjawaban pidana dihadapan hukum : Dalam hukum pidana, pengertian anak pada hakikatnya menunjuk kepada persoalan batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability / toerekeningvatsbaarheid). Dalam Undang-undang Pengadilan Anak, batas usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 8 sampai 18 tahun. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah agung Nomor 1/PUU-VII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana nya menjadi usia 12 Tahun. Adanya rentang batasan usia dalam Undang-undang Pengadilan Anak tersebut, diakui sebagai suatu kemajuan bila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam KUHP yang sama sekali tidak mengatur batas usia minimum.
- Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak. Dan Filosopi Pemidanaan tidak sesuai dengan filosopi UU perlindungan anak dan SPPA.
- Tujuan pemidanaan anak, perhatian diarahkan atas dasar pemikiran dilaksanakannya peradilan anak tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai bagian integral dari kesejahteraan sosial. Atas dasar filosofi demikian, paradigma sistem pemidanaan anak harus pula berpijak pada falsafah restoratif, mementingkan pemulihan keadaan akibat pelanggaran yang terjadi. Sebagai wujud dari filosofi pemidanaan demikian, maka tujuan dan pedoman pemidanaan perlu diatur secara tegas.
- Jika hanya melihat ketentuan batas usia anak yang dapat mempertanggungjawabkan pidana, maka anak sebagai pelaku dalam perkara ini dapat dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan batas usianya yang sudah di atas usia minimal yaitu 14 tahun. Namun Menyikapi tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan dikaitkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mana dalam UU tersebut terdapat suatu proses Diversi. Maka kami memandang dalam penyelesaian perkara ini adalah wajib diselesaikan secara diversi dengan berdasarkan landasan Pasal 7 UU SPPA.
- Proses Diversi dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dalam proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. tujuan dari proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyrakat untuk berpartisipasi dan menannamkan rasa tanggungjawab kepada anak. Dengan proses diversi maka keadilan restoratif dapat tercapai. Dan dalam pelaksanaan diversi anak sebagai pelaku juga harus mendapat pengawasan dan pantauan pembinaan dari lembaga terkait yang berwewenang dalam melakukan pembinaan untuk mencapai perbaikan perilaku penyimpangan anak agar nantinya dapat diterima kembali di masyarakat.
- Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hokum untuk lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan sebelum Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA dikeluarkan. Poin penting PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan persoalan ABH dengan acara Diversi yang merupakan prosedur hukum yang masih sangat anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Disamping itu juga, PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
- REKOMENDASI
Berdasarkan ketentuan uu perlindungan anak dan SPPA, langkah yang tepat dalam menangani perkara tersebut adalah:
- Diselesaikan dengan upaya DIVERSI.
- Dan terhadap anak yang berhadaan dengan hukum, seperti dalam kasus ini anak sebagai pelaku maka seharusnya didampingi oleh lembaga bantuan hukum yang dapat menjamin diberikannya hak-hak anak sebagai pelaku dan untuk menjamin dilakasanakannya uu Perlindungan anak dan UU SPPA
Add Comment