Opini Publikasi

May Day 2020 : Buruh dipusaran Covid-19 dan Omnibus Law

Oleh : Tiolina Hasibuan
Staff Divisi Ekosob

May Day sebagai Hari Perjuangan Buruh

Hari buruh, yang dikenal juga dengan sebutan May Day, diperingati setiap 1 Mei. Dibeberapa negara, Hari Buruh dijadikan hari libur tahunan, yang berawal dari usahan gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Hari Buruh ini lahir dari rentetan perjuangan kelas pekerja. Pada 1886, terjado demonstrasi kaum buruh Amerika Serikat yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Federation of Organized Trades and Labor Unions akhirnya menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh yang diperingati oleh kaum buruh seluruh dunia. Penetapan ini dilakukan untuk memperingati momen tuntutan delapan jam kerja sehari dan juga memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi pada 1806 oleh pekerja cordwainers. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April 1886, dari waktu ke waktu pendukungnya semakin banyak. Perkembangan ini memancing reaksi dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahaan setempat saat itu. Sebuah bom meledak di dekat barisan polisi. Polisi pun membabi-buta menembaki buruh yang berdemonstrasi. Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjad di Amerika Serikat. Bahkan menurut Rosa Luxemburg (1894), demonstrasi yang menuntut pengurangan jam kerja tersebut sebenarnya diinspirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebeumnya di Australia pada tahun 1856, peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889 yang kemudian di tetapkan delapan jam/hari atau 40 jam/minggu ( lima hari kerja ) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO No. 01 tahun 1919 dan konvensi No.47 tahun 1935. Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh sedunia untuk mendapatkan 8 kelas XII Semester 1 pekerjaan yang layak. Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk kerja paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.

Sedangkan Di Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei. Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia. Setelah era Orde Baru berakhir, meskipun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori “membahayakan ketertiban umum”. Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif dan didalangi gerakan komunis. Tindakan represif aparat tidak hanya terjadi terfokus kepada kaum buruh saja, setiap kalangan pendemo nyatanya menjadi musuh terberat negara ini dengan kekuasaan yang dimiliki segelintir orang dengan menjadikan aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi rakyat kini berbalik arah menjadi pembunuh rakyat.

Meskipun saat itu pemerintah Indonesia tidak menjadikan 1 Mei hari libur, namun nyata nya semangat kaum buruh untuk memperjuangkan hak-hak nya serta memperbaiki sistem dalam ketenagakerjaan Indonesia yang jauh dari sejahtera tetap berlanjut. Hal ini terbukti sejak tahun 2006 hingga tahun 2013 puluhan hingga ratusan ribu kaum buruh yang diantaranya tergabung dalam serikat buruh atau organisasi buruh terus melakukan demo setiap tanggal 1 Mei di berbagai kota di indonesia. Perjuanga kaum buruh sangat lah kelam di berbagai daerah buruh yang kritis untuk menyuarakan ketidakadilan terhadap kaum buruh yang dilakukan oleh perusahaan nyatanya dibungkam oleh pemerintah, tanpa segan-segan menghilangkan nyawa seseorang bukanlah hal yang sulit ketika investasi telah masuk.

Marsinah Ia aktivis buruh berlidah tajam dan organisator terpelajar. Marsinah melawan saat kekerasan aparat negara menjalar lebih cepat daripada wabah flu. Buruh perempuan yang rajin mengkliping berita koran itu nyala kritisnya dipetangkan rezim otoriter. Ia dibunuh di usia yang masih teramat muda, 24 tahun.Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.

Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.

Saat itu marsinah dan beberapa buruh perusahaan tersebut menggelar aksi mogok kerja, mereka membawa 12 tuntutan dari menuntut kenaikan upah hingga membubarkan organisasi serikat pekerja seluruh Indonesia yang dianggap buruk dan selalu bersebrangan dengan kebutuhan kolektif buruh. Setelah melalui perdebatan yang alot, tuntutan kenaikan upah itu akhirnya dipenuhi. Bahkan, pihak perusahaan juga menjanjikan membahas hak-hak buruh lainnya, seperti perhitungan upah lembur, uang transpor, cuti haid, dan cuti hamil. Namun hal tersebut nyatanya bukan kabar baik bagi mereka yang menjadi inisiator unjuk rasa tersebut 13 rekan kerja marsinah harus menerima berita pahit bahwa mereka harus di PHK oleh perusahaan.

Perjuangan dan kepedulian terhadap rekan kerja nya tetap berlanjut bahwa marsinah akan membawa kasus tersebut kejalur hukum apabila perusahaan tetap melakukan PHK terhadap 13 rekan nya. Namun sayang marsinah menghilang Pada Minggu, 9 Mei 1993, muncul kabar sesosok mayat yang diduga Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Dusun Jegong, Desa Wilangan. Lokasinya tak jauh dari jalan provinsi yang menghubungkan Nganjuk dan Madiun.

Kabar itu tak salah. Jasad Marsinah ditemukan sehari sebelumnya, Sabtu malam 8 Mei 1993, tergeletak dengan tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras.Kabar ditemukannya Marsinah dalam kondisi tak bernyawa membuat buruh PT CPS kaget. Rentetan kejadian yang mengawali terbunuhnya Marsinah membuat banyak pihak meyakini dia dibunuh atas aktivitasnya membela kaum buruh.Wanita asal Nganjuk, Jawa Timur lahir pada 10 April 1969 silam. Namanya kini dikenal sebagai pahlawan kaum buruh dan simbol keberanian melawan kesewenang-wenangan. Marsinah adalah salah satu catatan kelam perjuangan kaum buruh indonesia terhadap ketidakadilan terhadap kaum buruh yang menyetir mereka ke jurang kematian.

May day 2020 mungkin bisa dikatakan mayday yang kelam, ancaman PHK yang makin nyata akibat pandemi corona COVID-19, ditambah pemerintah dan DPR hanya menunda RUU Cipta Kerja Omnibus Law bukan menghapusnya seperti tuntutan kaum buruh.

Hak Buruh

Pekerja/buruh kita harus mengetahui bahwa dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah. Mulai dari aturan kontrak kerja, PHK, Gaji, dan lainnya diatur di UU tersebut. Peraturan ini menjadi dasar kebijakan yang dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh di Indonesia. Undang-undang ini juga diberlakukan agar tenaga kerja mendapatkan haknya untuk memiliki hidup yang layak. Namun masih sampai saat ini banyak pekerja/buruh yang belum memahami haknya yang dilindungi UU Ketenagakerjaan. Tentu hal ini kerap kali dijadikan kesempatan bagi para pengusaha nakal dalam menjalani bisnis mereka. Untuk menekan biaya perusahaan dan memberdayakan karyawan tanpa memperhatikan haknya.

Berikut beberapa hak pekerja/buruh yang penting untuk diketahui yang dilindungi didalam UU Ketenagakerjaan. Pertama, Hak pekerja/buruh untuk menerima Upah yang layak, seperti yang termuat didalam pasal 88 ayat 1 UU Ketenagakerjaan “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi manusia” begitu juga yang termuat didalam pasal 90 ayat  1 “pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 89”. Kedua, Hak pekerja untuk perlindungan atas PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), didalam pasal 151 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan “pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Dan dalam mengalami PHK pekerja/buruh harus memperhatikan alasan dari PHK seperti yang tertulis dalam pasal 153 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang melakukan PHK saat sedang sakit dengan keterangan dokter, sedang menjalankan kewajiban negara, atau tengah menjalankan ibadah, menikah, dan sebagainya maka hal tersebut harus ditolak. Terutama di tengah kondisi pandemi covid-19 saat ini. Kemudian juga termuat dalam pasal 156 ayat 2 tenang perhitungan uang pesangon, ayat 3 perhitungan uang penghargaan masa kerja, ayat 4 penggantian hak. Ketiga, Hak karyawan mengenai hubungan kerja yang termuat dalam pasal 56 ayat 2 dan pasal 60 UU Ketenagakerjaan, Aturan jam kerja, bahwa 7 jam satu hari untuk pekerja/buruh yang bekerja enam hari dalam semingu, dan 8 jam bagi pekerja yang bekerja lima hari dalam seminggu. Lalu hak lainnya termasuk Hak karyawan perempuan dalam cuti Haid dan Melahirkan, Hak untuk melakukan Aksi Mogok Kerja, Hak pekerja untuk berlibur, cuti, dan istirahat, dan juga Hak pekerja/buruh membentuk serikat pekerja.

Kondisi Buruh Pandemi Covid -19

Pandemic corona virus disease (Covid-19) berdampak hampir disemua sektor, antara lain kesehatan, ekonomi, dan sosial. Pandemi corona membuat aktivitas usaha banyak yang terhenti . pilihan merumahkan dan melakukan PHK karyawan pun terpaksa dilakukan perusahaan kecil maupun besar di Indonesia. Tentunya hal tersebut banyak mengundang pro dan kontra terkait pekerja maupun buruh yang dirumahkan maupun yang di PHK dengan banyak alasan tertentu akibat dampak virus corona.

Berdasarkan data kementrian ketenagakerjaan per 20 April 2020, tercatat data total perusahaan, pekerja/buruh formal dan tenaga kerja sektor informal yang terdampak covid-19, sektor formal yang dirumahkan dan di PHK berjumlah 84.926 perusahaan. Sedangkan untuk jumlaj pekerja atau buruh berjumlah 1.546.208 orang. Sementara, untuk sektor informal yang terdampak, ada 31.444 perusahaan yang harus merumahkan karyawan, dengan jumlah pekerja terkena PHK mencapai 538.385 orang. Sehingga total antara sektor formal dan sektor informal , perusahaannya terdapat 116.370, dan jumlah pekerjanya terdapat 2.084.593 orang. Dalam pantauannya Pekerja UMKM paling banyak terkena PHK. Dan banyak perusahaan tidak memberikan hak pekerja seperti upah sebagai penghasilan utama mereka dalam menghidupi keluarganya.

Kondisi ini menjadi alasan bagi perusahaan untuk tidak memberikan hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya dan UU Ketenagakerjaan serta Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia nyatanya tidak cukup membuat para perusahaan tersebut takut dan memenuhi hak para pekerja/buruhnya serta tidak cukup untuk melindungi hak pekerja/buruh. Selain itu dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/buruh dan kelangsungan Usaha dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 tertanggal 17 maret 2020. Pada Romawi II Angka 4 disebutkan “maka perubahan besaran maupun pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh” Ditengah kondisi seperti ini pekerja/buruh dibuat kalut serta was-was karena merasa takut upahnya akan dipotong, pengusaha akan dengan mudahnya memutuskan PHK. Bahwa Pandemi covid-19 hak-hak kaum pekerja/buruh semakin tertindas, ditengah situasi saat ini banyak pekerja/buruh yang dirumahkan tanpa upah atau dengan upah yang tidak layak, memberlakukan sistem sift dengan upah dipotong 50 % dari gaji pokok, hingga yang paling buruk adalah PHK ditengan covid-19 namun tanpa pesangon.

Laporan Posko Pengaduan Pelanggaran Hak Buruh Saat kondisi Covid 19

Sejak tanggal 20 Maret 2020 16 LBH-YLBHI diseluruh daerah Di Indonesia membuka posko pengaduan bantuan hukum terkait permasalahan pekerjaan yang terjadi selama Covid-19. 3 Minggu pertama sejak posko tersebut di buat LBH Pekanbaru menerima 3 pengaduan dari pekerja/buruh yang mengalami permasalahan mengenai pekerjaan nya selama covid-19 .

Pertama, Berdasarkan laporan yang masuk di lbh pekanbaru terdapat seorang pekerja di salah satu perusahan di PHK oleh perusahan karena di duga sebagai ODP.

Kedua, Perusahaan jasa berniat ingin merumahkan seluruh karyawan dan menutup perusahaan selama sebulan. Namun selama dirumahkan pekerja tidak mendapat gaji pokok dan tunjungan. Pekerja khawatir status kerjanya akan berubah jika dirumahkan. Namun akhirnya perusahaan memberlakukan pengurangan jam kerja.

Ketiga, Untuk menghindari PHK massal yang disebabkan oleh pandemic covid-19, disalah satu perusahaan di kota pekanbaru membuat suatu surat kesepakatan bahwa pekerja menggunakan system bekerja secara bergantian dan mau menerima 50% dari gaji pokok perhari atas hari kerja yang dikurangi.

Kemudian pada 15 April secara terpisah LBH Pekanbaru melakukan Launching posko pengaduan Pelanggaran hak Pekerja/buruh di Riau akibat dampak Covid-19. Laporan pengaduan yang diterima oleh LBH Pekanbaru sejak 15 – 29 April 2020 terdapat 3 kasus baru pelanggaran hak pekerja/buruh ditengah covid-19.

Keempat, 130 karyawan kontrak disalah satu Rumah sakit dirumahkan karena wabah covid yang membuat pasien turun drastic. Namun saat dirumahkan mereka tidak dapat kejelasan dari pihak rumah sakit mengenai upah dan lain sebagainya. Dan pihak rumah sakit juga tidak dapat menjamin apakah mereka yang dirumahkan tersebut dapat bekerja kembali setelah wabah covid ini selesai. Dan jika pun mereka di PHK mereka ingin diberikan hak-haknya.

Kelima, Perusahaan pembiayaan di kota pekanbaru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 9 orang karyawan kontrak. Namun dari 9 orang tersebut memiliki masa kerja yang berbeda-beda da nada yang belum habis kontrak sudah di PHK oleh perusahaan dengan alasan adanya perampingan. Yang di maksdu dengan perampingan adalah pengurangan biaya operasional termasuk pengurangan karyawan karena adanya covid-19. Namun upah terakhir yang diberikan oleh pihak perusahaan tidak full. Bahwa gaji pokoknya 1,3 jt dan ditambah tunjangan menjadi 3 jt perbulan.

Kelima, Perusahaan melakukan kebijakan pemindahan karyawan tanpa terkecuali dari pangkalan kerinci ke pekanbaru pada per 1 april 2020 dan tidak dibenarkan kembali ke pangkalan kerinci walaupun untuk mengunjungi keluarga sampai wabah corona selesai. Namun salah satu karyawan dari perusahaan tersebut nekat pulang ke pangkalan kerinci untuk mengunjungi keluarganya, namun saat karyawan tersebut kembali bekerja dia dipanggil oleh oleh HRD karena telah melanggar ketentuan. Pihak management melalui HRD memberikan pilihan mutasi atau mengundurkan diri. Akhirnya pekerja memilih untuk dimutasi.

Dari hasil laporan tersebut LBH Pekanbaru melihat bahwa banyak pekerja/buruh yang terdampak dari covid-19. Bahkan dari 1 perusahaan saja terdapat puluhan bahkan ratusan pekerja/buruh yang menerima pelanggaran hak nya sebagai pekerja/buruh. Dan seharusnya negara khususnya memberi perlindungan kepada kaum buruh untuk mendapatkan hak nya dari tindakan kesewenang-wenangan perusahaan. Sebab ditengah covid-19 saat ini PHK atau tidak memberi upah kepada kaum buruh adalah pelanggaran HAM.

Omnibus law Ciptaker

Ditengah isu tersebut isu omnibus law yang dibahas ditengah pandemi covid-19 terus bergulir. Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional. Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu. Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi. Yang paling sering jadi polemik, yakni ombinibus law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. tebalnya seperti kamus, jumlah halaman nya mencapai 1.028 lembar. Rancangan undang-undang omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 kluster pembahasan dan 1.200 pasal. Produk hukum ini merangkum sekitar 79 undang-undang yang sudah ada.

Namun dalam pembahasan omnibus law banyak menuai kritik dari berbagai kalangan salah satu yang paling keras menyuarakan yaitu kelompok serikat pekerja, diawalai dengan DPR yang tidak terbuka terhadap Draft RUU, serta DPR terkesan sembunyi-sembunyi dalam merancang dan membuat RUU sehingga masyakarat beranggapan bahwa DPR tidak ingin melibatkan masyarakat atau pun elemen-elemen lain untuk merancang RUU tersebut sedangkan RUU tersebut adalah demi kepentingan Hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia. Tidak sampai disitu setelah draft RUU tersebut dapat diakses ternyata banyak pasal-pasal bobrok yang merugikan dan menyengsarakan rakyat lebih banyak pasal-pasal yang menguntungkan pengusaha tapi tidak melindungi kaum buruh. Para petani pun menyuarakan kritiknya. RUU Ciptaker, menurut mereka, berbahaya untuk sektor pertanian karena menyetarakan produk pangan lokal dan impor.

Selain setebal kamus, isi RUU Ciptaker ibarat kitab suci. Banyak isu yang dibahas di dalamnya. Dari mulai tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan, peternakan, pertambangan, minyak dan gas bumi, lingkungan, kehutanan, ketenagalistrikan hingga pers. Tak heran banyak catatan merah pula pada pasal-pasal draf aturan itu salah satunya pada klaster ketenagakerjaan Pertama, hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. Kedua, masalah aturan pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian. Ketiga, aturan itu membuat sistem pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah. Keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan. Kelima, jam kerja yang eksploitatif. Keenam, karyawan kotrak akan sulit menjadi pegawai tetap. Ketujuh, penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas. Kedelapan, perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan dalam UU 13/2003 diatur, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Tetapi alam RUU Cipta Kerja, ketentuan yang mengatur segala upaya agar tidak terjadi PHK ini dihilangkan, kesembilan, pekerja yang tidak masuk bekerja karena sakit, perempuan yang haid,menikah dan menikahkan anak, menjankan tugas negara, hingga menjalankan tugas serikat pekerja upahnya tidak dibayar, kesepuluh hilangnya pesangon,Terakhir, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan pensiun.

Menjadi hal mengecewakan sekali ditengah situasi pandemi covid-19, disaat pemerintah mengarahkan untuk melakukan Work from home, social distancing hingga physical distancing. DPR seolah tuli tak mendengar, buta tak melihat, dan terlihat tebal muka karena tetap melakukan rapat mengenai pembahasan omnibus law. Ini tentu suara penyimpangan ketika parlemen di negara lain sibuk untuk mengatasi covid-19 para parlemen Indonesia sibuk bahas omnibus law. Seakan-akan omnibus law jauh lebih penting jauh lebih genting dan lebih prioritas dibandingkan penanganan covid-19 saat ini. Hal tersebut tentu mengundang kecurigaan masyarakat omnibus law seperti proyek titipan yang harus segera diselesaikan jika tidak akan maka akan ada kerugian. Sedangkan dalam pembahasannya seharusnya DPR melibatkn masyarakat. Seakan DPR mencari titik lemah dan lengah masyarakat ditengah covid-19.

Dikarenakan banyak nya kontroversi diberbagai kalangan terjadilah penolakan pembahasan omnibus law, akhir-akhir ini Tahar tolak omnibus law atasi Corona menjadi trending topic dan menjadi sorotan. Hampir diberbagai daerah penolakan terhadap omnibus law ini dikemas dalam talk show, press releas, konfersi pers, diskusi, ataupun seminar-seminar online ditengah covid-19 hingga membuat koalisi untuk menolak omnibus law.

Dengan banyak nya penolakan akhirnya pada tanggal 24 April presiden Joko Widodo memutuskan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam dalam rancangan undang-undang Cipta kerja. Namun hal ini sangat mengecewakan jika hanya menunda pembahasan klaster ketangakerjaa. Karena 11 klaster yang termuat didalam RUU omnibus law cipta kerja saling berhubungan sehingga dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam lagi. Penundaan klaster ketenagakerjaan ini pun dianggap ingin memisahkan gerakan buruh dalam menolak RUU Omnibus Law Cipta kerja. kaum buruh harus tetap bersama-sama melihat omnibus law RUU Cipta Kerja sebagai persoalan rakyat secara keseluruhan. bahwa yang merugikan buruh bukan hanya berasal dari klaster ketenagakerjaan saja, tetapi sekaligus dari eksploitasi sumber daya alam dan pasar Indonesia. Jangan ada lagi pemisahan antara kaum buruh dan rakyat lainnya.