Tak Berkategori

Kriminalisasi Pembela Hak Asasi Manusia Langkah Mundur Demokrasi & Penghormatan Ham

Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru sangat menyesalkan dan memandang miris atas kriminalisasi terhadap Dua Pengacara LBH Jakarta dan meminta Majelis Hakim agar menghentikan Persidangan dan membebaskan 26 terdakwa terkait demo buruh untuk menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Aksi unjuk rasa tersebut digelar pada tanggal 30 Oktober 2015 yang lalu, termasuk Dua Pengacara Publik LBH Jakarta, Tigor Gempita Hutapea dan Obed Sakti.
Tigor dan Obed adalah Dua Pengacara yang pada saat demo buruh sedang melakukan pendampingan sebagai Kuasa Hukum sekaligus mendokumentasikan jalannya aksi. Mereka berdua ikut ditangkap oleh aparat kepolisian karena dianggap sebagai massa aksi, padahal sebelumnya mereka telah memperkenalkan diri kepada aparat kepolisian sebagai kuasa hukum dari LBH Jakarta yang mendampingi para buruh. Kedua pengacara tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dan dijerat pasal 216 ayat 1, pasal 218 KUHP juncto Pasal 15 UU Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, dan pasal 7 ayat 1 butir a Peraturan Kapolri 7/2012, yang pada pokoknya dinyatakan melawan petugas.

Direktur LBH Pekanbaru, Daud Frans SH mengatakan bahwa hal ini merupakan pukulan telak kepada Pemberi Bantuan Hukum dan langkah mundur dalam berdemokrasi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Daud Menjelaskan bahwa Pengacara dalam menjalankan tugasnya telah dilindungi oleh Undang-undang yang berlaku, “Tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, sudah jelas di dalam Pasal 11 UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/2013” Tegas Daud.

Daud mengatakan bahwa penganiayaan, penangkapan, dan penuntutan hukum terhadap Tigor dan Obed merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional di bawah Deklarasi PBB tentang Pembela HAM atau Human Rights Defender yang sudah diakui oleh Indonesia. Deklarasi ini menghendaki Negara mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan perlindungan terhadap para Pembela HAM dari setiap pelanggaran, ancaman, balas dendam, diskriminasi de facto atau de jure yang bersifat sebaliknya, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai akibat dari aktifitas mereka yang sah dalam melaksanakan hak-haknya sebagai Pembela HAM. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 ayat 2 Deklarasi Pembela HAM PBB.
Menurut Daud Frans, Jaksa Penuntut Umum terlalu ambisius dalam penetapan terdakwa terhadap Dua Pengacara LBH Jakarta, satu Mahasiswa dan 23 Buruh, “kami menilai ada kriminalisasi terhadap kasus ini, mulai dari penetapan tersangka di Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum hingga akhirnya mereka di panggil sidang pada senin lalu (21/03/2016) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kami tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Jaksa Penuntut Umum hingga kasus ini diteruskan” sesal Daud.
Daud Frans mengatakan bahwa dari awal Polisi sudah melakukan pelanggaran terhadap ke 26 terdakwa pada saat aksi buruh tersebut, selain ditangkap 26 terdakwa tersebut mengalami pemukulan, mereka ditangkap dengan brutal, diseret, dipukul, bahkan hingga kepalanya robek. Tidak hanya badan, mobil komando buruh pun dirusak oleh polisi. “pada saat itu Polisi sudah melanggar Peraturannya sendiri yakni Pasal 19 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM Kepolisian” tambah Daud

Oleh karena itu, LBH Pekanbaru meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menghentikan seluruh proses Persidangan terhadap ke 26 terdakwa tersebut karena pengadilan tersebut mengadili kebebasan berdemokrasi dan pemidanaan yang dipaksakan (kriminalisasi) dan meminta Jaksa Agung HM Prasetyo serta Jaksa Agung Muda Pengawasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap jaksa yang menangani perkara ini” tutur Daud.

“Kami yakin bahwa adanya kriminalisasi terhadap Tigor dan Obed merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk membungkam Pembela Hak Asasi Manusia dalam kegiatannya membela hak asasi manusia di bumi pertiwi. Jika kriminalisasi terus berlanjut, maka hal ini akan mencoreng wajah Indonesia di depan komunitas internasional, yang menyatakan diri bahwa Indonesia berkomitmen dalam penegakan HAM di tanah air. Adalah memalukan juga bagi penegak hukum di Indonesia, yang tidak memahami hukum positif di Indonesia bahwa Pekerja Bantuan Hukum tidak dapat dipidana dalam tugas pemberian bantuan hukumnya. Hal ini sesuai UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang seharusnya diketahui secara fasih oleh para penegak hukum baik Polisi maupun Kejaksaan. Atas kejadian ini, Kami menuntut agar kriminalisasi Tigor dan Obed dihentikan segera secepat-cepatnya dan melepaskan segala tuntutan hukum yang dikenakan kepada Tigor dan Obed, demi keadilan dan penegakan hukum di Indonesia” tutup Daud.