Tahun 2020, dimana disaat Dunia sedang berduka karena Pandemi covid-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat disaat yang sama oligarki dan pemerintah sibuk membuat UU yang tidak transparan dan partisipatif dengan proses cepat, terburu-buru dan aburadul untuk menguntungkan oligarki dari UU Mahkamah Konstitusi, UU Mineral dan Batubara dan UU Cipta Kerja. Aturan penanganan Covid-19 menjadi alasan negara melakukan kriminalisasi dan melakukan penyalagunaan kewenangan yang berpotensi pelanggaran HAM dengan melakukan penangkapan tanpa prosedur terhadap massa aksi yang melakukan protes terhadap penolakan Cipta Kerja. Kriminalisasi dengan alasan Covid-19 dialami mahasiswa di Bengkalis terhadap protes putusan hakim Pengadilan Negeri Bengkalis yang menghukum Bongku masyarakat adat Suku Sakai yang dihukum karena mengelolah tanah ulayatnya. Tidak hanya itu, hak kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum juga dicederai oleh tindakan penegak hukum yang menangkap massa aksi penolakan UU Cipta Kerja.
Kepentingan oligarki yang menunggangi UU Minerba berdampak kepada situasi lingkungan hidup di Provinsi Riau yang terdapat 3 perusahaan pertambangan batubara seperti PT. Riau Bara Harum, PT. Samantaka Batubara dan PT. Buana Tambang Jaya yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat adat di Provinsi Riau. Selain itu, kerusakan lingkungan hidup seperti tidak di reklamasinya 13 lobang tambang PT. Riau Bara Harum memberikan bukti UU Minerba tidak berpihak kepada lingkungan hidup.
Sudah hampir 2 tahun Gubernur Provinsi Riau menjabat tidak memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup, salah program kebijakan Riau Hijau yang digadang-gadang oleh Gubernur Provinsi Riau hanya bualan belaka, salah satu faktor program Riau Hijau yaitu pengendalian Sungai Siak yang sampai saat ini masih tetap tercemar berat disaat pemerintah daerah terus membangun industri di pinggir sungai Siak seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berada di pinggir Sungai Siak. Tidak hanya industri yang sudah dibangun saat ini, ancaman semakin rusaknya Sungai Siak dalam RPJMD Provinsi Riau rencana dibangun kawasan Industri Tenayan (KIT) salah satu akses transportasi adalah sungai Siak.
Refleksi catahu tahun ini kami beri tema “OLIGARKI = ANCAMAN RUANG HIDUP” menggambarkan kondisi-kondisi yang sangat krusial pembungkaman hak-hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam prinsip demokrasi. Keselamatan masyarakat pada masa Pandemi Covid-19 bukan lagi hal yang prioritas oleh Negara karena kepentingan rakyat telah di rampas dan dibungkam dengan kepentingan oligarki.
Kondisi demokrasi yang semakin parah kedepannya merupakan pekerjaan yang berat bagi penegakan hak asasi manusia, namun kami terus berusaha mewujudkan sebagai lokomotif demokrasi sebagaimana cita-cita yang telah dibuat oleh Para Pendiri lembaga ini pada 48 tahun silam. Harapannya, terus ada masukan dan inovasi bagi kerja-kerja kami di tahun yang akan datang yang diprediksi akan makin sulit di mana makin kuatnya pengaruh oligarki terhadap Sumber Daya Alam. Tentu hubungan ini lahir disebabkan timpangnya relasi kuasa antara rakyat dan negara atau semakin menjauhnya penyelenggaran negara terhadap rakyatnya.
Maka tak heran dalam Catahu 2020 ini, kami mengambil sudut pandang suara gerakan masyarakat sipil dalam perjuangan hak asasi manusia hanya di ruang hampa. Tentu hal ini tidak akan membuat perlindungan, pemenuhan dan penjaminan terhadap hak asasi manusia membumi di Bumi Lancang Kuning, namun setidaknya ini menjadikan modal besar untuk merumuskan strategi advokasi dan strategi internal untuk menghadapi tahun 2021.
Dalam kurun waktu tahun 2020, LBH Pekanbaru menerima 158 Pengaduan, dari 158 pengaduan yang lanjut ketahap pendampingan ada 27 Kasus, beberapa pengadu hanya diberikan advice dan disarankan untuk jalan sendiri setelah diberikan edukasi sebelumnya. Dari keseluruhan pengaduan, ada 90 kasus perdata dan 68 kasus pidana yang diadukan, ini belum termasuk dengan pencari keadilan yang didampingi pada saat aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, terhitung ada 10 Pencari Keadilan yang didampingi pada saat pemeriksaan dikepolisian karena aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Ada 10 Pelajar yang tidak diijinkan untuk didampingi saat pemeriksaan dikepolisian dan 2 massa aksi saat ini dalam tahap penyidikan dan sudah ditahan.
Tahun 2020 merupakan tahun kelam bagi sebagian besar masyarkat Indonesia terkhususnya di Provinsi Riau, dimana tahun 2020, dunia termasuk Indonesia dilanda Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan berjatuhan korban dan terinfeksi virus ini, akibat dari Pendemi ini, Pelayanan umum membatasi pertemuan tatap muka untuk pencegahan penyebaran Virus Corona, LBH Pekanbarupun akhirnya menerapkan Work From Home dan melayani konsultasi via daring. Akan tetapi, Pendemi Covid-19 tidak menyurutkan pendampingan bagi para pencari keadilan terkhususnya mereka yang dimarjinalkan, diberangus haknya dan dibungkam suaranya oleh para penguasa. Akibat dari Pandemi Covid-19, persidangan yang seharusnya dilakukan tatap muka akhirnya dilakukan secara virtual yang sebenarnya banyak terjadi masalah teknis yang berdampak pada kualitas pembuktian, diantaranya terjadi gangguan jaringan, audio / suara yang berisik mengakibatkan suara tidak terdengar jelas pada saat pemeriksaan saksi dan/atau terdakwa, listrik padam dan lain sebagainya.
Tidak tanggung-tanggung, ditengah Pandemi Covid-19 melanda, Pemerintah dan DPR RI bersekongkol untuk membuat Regulasi Kontroversi dimana regulasi tersebut justru akan semakin memperburuk keaadaan. Regulasi itu diberi nama UU Cipta Kerja, dibahas secara terburu-buru, menutup ruang publik yang tentu merampas ruang gerak masyarakat. Memanfaatkan situasi pandemi, Pemerintah membuat anjuran untuk melakukan Social Distancing dan/atau Physical Distancing serta menerapkan bekerja dari rumah, akan tetapi Pemerintah malah mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU dimana RUU tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan baik akademisi, mahasiswa, buruh, masyarakat adat, nelayan, petani dan lainnya.
Undang-undang Cipta Kerja = Pembungkaman Demokrasi
LBH Pekanbaru mencatat setidaknya ada empat kali aksi penolakan terhadap Omnibus Law di Pekanbaru yang terdiri dari mahasiswa dan juga buruh. Dalam empat kali aksi penolakan RUU Omnimbus Law terjadi penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Pekanbaru. LBH Pekanbaru juga mencatat ada sekitar 25 orang yang ditangkap pada saat aksi penolakan maupun pasca aksi penolakan RUU Omnimbus Law dalam waktu yang berbeda. Dari catatan tersebut di dapatkan bahwa ada 12 pelajar, 10 orang mahasiswa serta beberapa buruh yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Sampai saat tulisan ini dibuat satu orang mahasiswa dan satu orang buruh masih ditahan di Polda Riau untuk dilanjutkan dalam proses penyidikan.
Urgensi Akses Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin dan Buta Hukum Di Provinsi Riau Selama LBH Pekanbaru berdiri banyak menerima pengaduan masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum dan buta hukum serta tidak mampu membayar jasa advokat untuk mendampinginya dalam menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi, dari seluruh pengaduan masyarakat yang masuk ke LBH Pekanbaru – YLBHI ada beberapa kasus yang tidak dapat didampingi oleh LBH Pekanbaru diantaranya yang berasal dari luar kota karena terkendala pada jarak yang jauh, kondisi ini tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit untuk sekali pendampingan dan calon klien juga tidak mampu menanggung biaya tersebut. Namun, setidaknya di tahun 2020 ada 8 (delapan) kasus dari luar Kota Pekanbaru yang didampingi oleh YLBHI – LBH Pekanbaru tepatnya 2 kasus di Kepulauan Meranti, 3 kasus di Kabupaten Bengkalis, 1 kasus di Kabupaten Kampar, 1 kasus di Kabupaten Pelelawan, dan 1 Kasus di Kabupaten Kuantan Singingi.
Tentu di daerah-daerah ada juga OBH meskipun belum terakreditasi. Namun tidak bisa dijadikan standar bahwa adanya OBH dapat meningkatkan akses terhadap keadilan dan bantuan hukum. Tidak jarang OBH mengalami permasalahan integritas. Selain pentingnya peningkatan jumlah OBH, peningkatan kualitas dan integritas juga harus dipertimbangkan karena tidak sedikit OBH yang kerap tidak ingin menangani perkara yang masuk karena dana dari BPHN tidak lagi ada. Sehingga jasa bantuan hukum diberikan hanya saat dana dari BPHN masih tersedia.
Kebijakan (regulasi) tentang bantuan hukum yang sudah berlaku di Provinsi Riau hanya ada di 8 (delapan) daerah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kota Dumai, Kota Pekanbaru, namun masih terdapat 4 (empat) daerah dari 8 (delapan) peraturan daerah tersebut yang belum memiliki Peraturan Walikota/Peraturan Bupati. Hal tersebut yang menjadikan implementasi kerap menjadi masalah. Beberapa Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota berdasarkan data di atas belum memiliki aturan pelaksana yaitu Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota sehingga terkendala dalam pengimplementasiannya.
Korban Predator Seksual butuh Perlindungan
LBH Pekanbaru dalam melakukan penanganan kasus serta pendampingan di dalam dan/atau diluar pengadilan dengan upaya advokasi terhadap tindak kekerasan seksual sepanjang tahun 2017 sampai 2020 setidaknya terdapat 26 kasus, dengan kategori Kekerasan Seksual Terhadap Anak (3 kasus), Pelecehan Seksual (7 kasus), Janji Kawin/KDP (6 kasus), Perkosaan/Pencabulan (3 kasus), Marital Rape (7 kasus).
Runtutan semua kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan ditemukan korban berada dalam kondisi yang lemah dan rentan dengan pelaku, sebagian pelaku merupakan teman dekat, kerabat bahkan suami yang dengan memiliki kuasa memperlakukan korban sebagai objek pemuas seksual semata. Tidak hanya itu, lingkungan dalam kasus-kasus tersebut merupakan lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial masyarakat, lingkungan pasangan belum menikah dan pekerjaan, dll.
Nalar pincang penegakan hukum di Indonesia terkait kekerasan seksual masih banyak dan sering terjadi, terlihat tidak merasa terlindunginya korban kekerasan seksual dari predator seksualitas. Bagai malam berganti pagi dan pagi berganti malam, kasus kekerasan seksual hanya berlalu dengan meninggalkan cacat keadilan. Dengan demikian, dalam rangka pemenuhan hak atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi dengan mengakumulasikan banyaknya jumlah kejadian tindak kekerasan seksual serta dengan mencermati kompleksnya permasalahan di masyarakat kususnya kasus kekerasan seksual, maka perlu adanya aturan sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual.
Buruh dan Regulasi yang Tidak Berpihak
Regulasi yang dibentuk dan disahkan oleh DPR-RI dan Pemerintah yang disebut dengan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang terdiri dari 15 Bab dan 174 pasal didalamnya mengenai Ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Muncul RUU Cipta Keja berasal dari Pemerintah. Rancanangan UU ini diungkapkan pertama kali oleh Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI pada 20 Oktober 2019. Pada pidatonya, dia mengatakan segala bentuk regulasi harus disederhanakan. Tapi ini tentu sangat berbanding terbalik jika kita melihat dan membaca secara langsung UU Cipta Kerja tersebut sebab banyak nya pasal-pasal yang mensyaratkan ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah ini justru akan memperlambat penyelesaian permasalahan dan terkesan bertele-tele. Dapat kita saksikan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja ini sebenarnya mendapatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari Mahasiswa, Buruh, Aktivis, Pegiat Lingkungan, Akademisi dan masih banyak lagi. UU ini seperti sangat dipaksakan untuk dibuat dan disahkan mengingat perjalanannya terlihat sangat mulus sekali dengan mengenyampingakan kondisi COVID-19 saat ini, saat Negara lain fokus menangani covid-19 namun Indonesia melalui DPR-RI dan Pemerintah ngebut membahas UU ini yang dianggap tidak ada Urgensi atau kedaruratannya sama sekali untuk segera di bahas dan disahkan, bahkan sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas ditenganh masa reses dan pandemic.
Sungai Siak Diancam, Kehidupan Terancam
12 Mei 2020, DPR RI telah mengesahkan Revisi RUU Minerba Menjadi UU No. 4 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara. UU ini memiliki banyak sekali kejanggalan dari sentralistik kewenangan dalam perizinan sehingga tidak ada kewenangan daerah, menjamin adanya kelanjuntan Operasi Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK, lalu apa kaitannya degan sungai siak ?
Bedasarkan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) PLTU-B Riau 2x110MW membutuhkan 70 ton/jam/unit batubara yang dimana batubara ini dipasok oleh PT Samantaka yang wilayah pertambangannya berada di Kec. Peranap, Kab. Indaragiri Hulu, Prov. Riau dan hasil tambang batubara di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi yang diangkut melalui jalur laut melewati sungai siak dengan menggunakan Tongkang bermuatan 8.000-10.000 ton batubara.
Proses pengangkutan ini menimbulkan masalah serius bagi kelestarian sungai siak, dari ‘’Bottom Ash” yang mencemari air sungai hingga erosi akibat hempasan gelombang yang timbul dari pengangkutan ini belum juga berbicara tentang pembuangan limbah cair yang dihasilkan PLTU-B Riau 2x110MW sebesar 182,5m³/jam-200,5m³/jam serta hasil pembakaran batubara yang berdampak terhadap kualitas air sungai siak dan masyarakat sekitar. Dengan berlakunya UU ini akan memperparah keadaan sungai siak, eksploitasi tambang dari pasca produksi dan transportasi akan menimbulkan kerusakan yang lebih masif akibat produksi dan penggunaan energi kotor.
Potret Penegakan Hukum Kebakaran Lahan dan Hutan di Provinsi Riau
Berdasarkan data yang diperoleh melalui Penelusuran Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Per 2017–2020 diseluruh Pengadilan Negeri di Provinsi Riau ada 163 kasus untuk kasus orang Perorangan baik yang sudah diputus atau sedang dalam proses persidangan, sementara untuk Korporasi dari tahun 2017-2020 berdasarkan data yang diperoleh melalui SIPP seluruh Pengadilan Negeri di Provinsi Riau hanya ada 4 Korporasi yang di proses dan diputus bersalah oleh majelis hakim telah melakukan pembakaran lahan dan hutan antara lain yaitu, PT. Triomas Forestry Development Indonesia (2018), PT. Sumber Sawit Sejahtera (2019), PT. Adei Plantation And Industry dan PT Teso Indah (2020).
UU P3H Kembali Menyerang Petani
Pak Marjohan (41 tahun) merupakan warga Desa Seberang Sungai, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi yang kesehariannya bekerja sebagai Petani Penyadap karet untuk menghidupi keluarganya. Bersama dengan Ilham Marisi (21 tahun) seorang remaja yang baru menyelesaikan Pendidikan sekolahnya terpaksa harus ditahan dan menjalani Proses hukum karena diduga menebang satu Pohon di areal konsensi PT RAPP untuk membuat Pondok berkebun dan diduga melanggar Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H).
Terbitnya undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tentu saja untuk mendorong kelestarian hutan dengan cara mencegah serta menjerat individu atau korporasi yang mendalangi maupun terlibat dalam praktik perusakan hutan secara terstruktur dan terorganisasi. Meski langkah pemerintah sejauh ini layak diapresiasi, namun dalam proses formulasi kebijakan, pemerintah luput mempertimbangkan berbagai masalah yang masih merundung sektor kehutanan, serta abai terhadap satu elemen penting dalam isu kehutanan yaitu masyarakat. Dampaknya, UU P3H mengalami kegagalan maupun penyimpangan dalam implementasi. Berbagai tindakan perusakan hutan didefinisikan, sekaligus ditetapkan mekanisme penyidikan, pemeriksaan dan penyidangan terhadap tersangka perusakan hutan.
Pekanbaru, 21 Desember 2020
Yayasan LBH Indonesia
LBH Pekanbaru
Andi Wijaya
Direktur
Add Comment