LBH Pekanbaru kembali untuk membuat Catatan Akhir Tahun (Catahu) tahun 2019 yang merupakan bentuk tanggung jawab LBH Pekanbaru kepada seluruh elemen masyarakat sipil di Riau secara khusus ditujukan kepada klien, paralegal, lembaga jaringan, stakeholder yang selama ini bekerja bersama-sama untuk memperjuangkan keadilan dan penegakan HAM. Catahu ini akan memaparkan jumlah pengaduan pencari keadilan dan yang telah ditangani, laporan-laporan pelaksanaan divisi-divisi dan laporan penanganan perkara selama 2019.
Tidak hanya laporan secara internal lembaga, catahu ini juga merefleksikan kondisi-kondisi demokrasi dan pelanggaran HAM di Riau dalam pandangan LBH Pekanbaru. Refleksi ini bercermin dari catahu LBH Pekanbaru 2018 yang dimana “HAM Tidak Lagi Sendiri” merupakan gambaran terkonsolidasikan gerakan-gerakan masyarakat sipil dalam menjaga demokrasi dan penegakan HAM. Walaupun catahu ini tidak dapat mewakili suara-suara masyarakat sipil yang beragam dan kondisi yang berbeda, namun dapat dijadikan sebagai corong gerakan sipil dalam perjuangan penegakan hak asasi manusia yang kini sudah berada di ruang hampa. Berikut ini adalah catatan-catatan di tahun 2019 sebagai berikut :
- Penanganan Perkara
Per 10 Desember 2019, tercatat ada 152 perkara yang masuk melalui Sistem Penanganan Kasus (Simpensus) LBH Pekanbaru. Angka ini belum termasuk kasus yang masuk melalui media social ataupun website LBH Pekanbaru. Perkara yang masuk dihitung berdasarkan semua perkara yang disampaikan ke LBH Pekanbaru, baik nantinya diterima ataupun dialihkan kepada Pengacara lain (referral). Terhitung dari 152 perkara tersebut, hanya 65 perkara yang dilanjutkan untuk diberikan bantuan hukum mulai dari jasa konsultasi hingga pendampingan di peradilan. Ada 32 perkara perdata, 31 perkara pidana dan 2 perkara Tata Usaha Negara yang ditindaklanjuti.Untuk perdata, perkara yang paling banyak ditangani adalah perkara Perburuhan dengan 10 kasus dan 7 diantaranya adalah perkara Pemutusan Hubungan Kerja. Untuk perkara lainnya, seperti cerai, asuransi, hutang, konflik lahan, kredit macet, prapid, rumah tangga, sengketa konsumen, wasiat dan lain-lain.
- Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Masyarakat Adat di Riau Hanya Tinggal Cerita
Menjelang akhir tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu semakin terlihat tidak akan mengakui keberadaan Masyarakat Adat Talang Mamak. Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu menghentikan Kegiatan Lokakarya Internasional Pembelajaran Pengelolaan Wilayah Adat Berbasis Kearifan lokal Antar Komunitas Adat yang diikuti perwakilan adat dari 20 negara di Desa Talang Jerinjing, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu pada tanggal 1 Oktober 2019. Kepala Badan Satpol PP Inhu Boby Rachmat menghentikan kegiatan Lokakarya tersebut karena tidak ada izin dari Bupati.
Lain cerita dari Suku Sakai, Bongku merupakan masyarakat adat Suku Sakai ditangkap pada 3 November 2019 dengan dugaan melakukan tindak pidana Melakukan Kegiatan Perkebunan Tanpa Izin Menteri di Dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a UU P3H berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin-kap/107/XI/2019/Reskrim dan diperpanjang penangkapannya dengan Surat Perintah Perpanjangan Penangkapan dengan Nomor: Sprin-Kap/107.a/XI/2019/Reskrim tanggal 5 November 2019 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Sprin-Han/93/XI/2019/Reskrim tertanggal 8 November 2019. Bongku sudah lama menempati lahan tersebut yang bercocok tanam untuk menanam ubi.
b. Membedah Penegakan Hukum Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Riau
Data mencatat bahwa tiap tahun, Polda Riau menetapkan Tersangka kebakaran hutan dan lahan dengan jumlah pelaku individu lebih banyak daripada korporasi. Pada 2013, ada 14 orang yang menjadi tersangka, namun tak ada satupun korporasi yang ditetapkan tersangka. Pada 2014, ada 109 orang yang menjadi tersangka dengan 66 kasus dan ada satu korporasi yang ditetapkan sebagai Tersangka yakni PT Nasional Sago Prima di Kepulauan Meranti dan telah divonis bersalah oleh MA. Pada 2015, ada 71 kasus yang ditangani Polda Riau, 53 kasus melibatkan perorangan dan 18 kasus melibatkan korporasi. Dari 18 kasus korporasi tersebut, 5 kasus langsung ditangani oleh Polda Riau, sisanya diurus sejumlah Polres. Dalam perkembangannya ada dua kasus yang ditingkatkan ke proses persidangan, yakni PT Langgam Inti Hibrido dan PT Palm Lestari Makmur. Sedangkan 2016, ada 79 orang yang ditetapkan menjadi tersangka dari 64 kasus kebakaran hutan dan lahan. Tahun 2017, ada 10 orang tersangka perorangan yang ditetapkan sebagai pelaku pembakar hutan dan lahan. Namun tidak ada korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian pada 2018, ada 10 orang tersangka dengan 9 kasus kejahatan kebakaran hutan dan lahan di Riau per Juli 2018. Dan penghujung November bertambah menjadi 35 orang tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan. Namun pada tahun 2018 tidak ada korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka.
c. Gerakan Nelayan Peduli Sungai Siak
Pengorganisiran di tingkat masyarakat yang bergantung dengan sungai Siak berguna untuk perjalanan perjuangan masyarakat untuk merebut kembali ruang hidup para nelayan dalam melindungi kehidupan mereka. Pemulihan sangat penting dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau dan juga perlindungan Sungai dari pembuangan limbah PLTU-B Tenayan Raya 2X110 MW dan juga perusahaan pabrik kelapa sawit yang saat ini masih beroperasi. Pengorganisiran ini telah di lakukan di Kelurahan Okura dengan segmen nelayan. Terdapat 17 nelayan telah di organisir dan telah membuat posko perjuangan nelayan peduli sungai siak yang dikoordinator oleh Atan Keok. LBH Pekanbaru memberikan fasilitas terhadap para nelayan berupa pendidikan hukum dan pengorganisasian rakyat sehingga gerakan yang dibangun oleh para nelayan menjadi tonggak gerakan para nelayan dalam perlindungan Sungai Siak dari ancaman kerusakan oleh limbah-limbah dengan skala luas.
d. Buruh Melawan Modus Baru Perusahaan
Sepanjang 2019 LBH Pekanbaru menangani 12 kasus, dari keseluruhannya ada 8 kasus didampingi hingga ke persidangan, ada 3 kasus yang saat ini didampingi pada tahap Bipartit dan Tripartit dan 1 kasus lagi hanya sampai tahap Konsultasi. Namun kasus “warisan” terkait Permasalahan Buruh dari 3 tahun sebelumnya masih ada sekitar 4 kasus lagi. 2 kasus lagi menunggu putusan Kasasi dan 2 kasus sedang pada tahap eksekusi yang masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan sampai saat ini. Modus baru yang dilakukan oleh perusahaan adalah modus pemutusan hubungan kerja dengan cara habis kontrak atau mengalihkan pekerja ke anak perusahaan setelah sudah 2 tahun bekerja sehingga seakan-akan pekerja menjadi pekerja kontrak seperti perusahaan PT. Margie Andalan dan PT. Asuransi Sinar Mas.
Hak Sipil Dan Politik
a. Lubang Pesta Demokrasi dan Gerakan Rakyat #Reformasidikorupsi
Pemerintahan Jokowi diakhir masa pemerintahannya 2014-2019 membuat persekongkolan politik yang melegitimasi beberapa undang-undang yang tidak berihak ke rakyat untuk disahkan dengan cepat tanpa melihat dan menampung anspirasi publik. berbagai perubahan revisi Undang-undang dan rancangan Undang-undang sangat merugikan rakyat. Karena menghianati semangat reformasi yang sejatinya sejalan dengan UUD RI 1945 dan Pancasila itu sendiri. Perubahan dan rancangan undang-undang ini jauh dari semangat demokrasi kerakyatan dan demokrasi partisipatif. Gerakan aksi menolak beberapa RUU yang bermasalah yaitu RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, UU Sumber Daya Air, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba dan UU MD3.
b. Tunduknya Negara Terhadap Mayoritas Melahirkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Kasus penghentian peribadatan jemaat GpdI Effata di Indragiri Hilir membuat cacatan buruk Riau dalam Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Negara dalam hal ini Pemerintah Indragiri Hilir terjadi akibat desakan sekelompok masyarakat mayoritas yang merasa keberatan dengan adanya aktivitas peribadatan di GPdI Effata di RT/RW 01/02 Dusun Sari Agung, Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir. Terjadi pembatasan dalam menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi jemaat GPdI Effata yang berada di RT/RW 01/02 Dusun Sari Agung, Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir tetapi pembatasan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat 3, pembatasan tersebut jelas hanya karena dorongan sekelompok masyarakat mayoritas didaerah tersebut yang tidak jelas dan tidak mendasar apa yang menjadi alasan keberatannya.
c. Minimnya Perhatian Serta Pendidikan Inklusi Pemerintah Riau Terhadap Penyandang Disabilitas
Perjuangan Penyadang Disabilitas sangatlah minim perhatian dari pemerintah dan masyarakat karena khalayak umum menganggap isu-isu mengenai disabilitas kurang sexy (menarik perhatian) padahal Penyandang Disabilitas memiliki hak-hak yang sama dengan Non-disabilitas pada umumnya, pemerintah dan masyarakat melupakan kewajibannya sebagai manusia untuk memanusiakan manusia, yang menarik bagi Non-Disabilitas hanyalah isu yang berkaitan dengan sosial, politik dan ekonomi sehingga kehadiran dari penyandang disabilitas dianggap tidak berpengaruh untuk hal apapun. Berdasarkan data dan diskusi dengan organisasi penyandang disabilitas HWDI Provinsi Riau dapat terlihat minimnya aksesibitas untuk penyadang disabilitas pada kantor-kantor pemerintahan seperti Kepolisian Daerah, kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Rumah Sakit/Puskesmas, Kantor Desa/Kantor Kelurahan, Sekolah-sekolah umum seperti SD, SMP, SMA/SMK bahkan tempat-tempat umum lain nya seperti Mal, Pasar Tradisional, bahkan halte busway yang sangat sering digunakan oleh Penyandang Disabilitas sangat fasilitas untuk Penyandang Disabilitas sangat minim untuk Penyandang Disabilitas.
d. Hak Rasa Aman Terancam : Jeratan Pinjol Berujung Teror
Pasca maraknya pinjaman online (Finctech) yang berkembang di masyarakat, adanya pinjaman online ini membuat beberapa peminjam terjerat dengan proses yang mudah yang ketika pembayaran macet hak-hak peminjam diabaikan oleh aplikasi penyedia pinjaman online yang dan kemudian peminjam merasa tidak aman dengan acaman teror bahkan penyebaran informasi pribadi peminjam. Berdasarkan pengaduan tersebut, LBH Pekanbaru membuka posko pengaduan korban pinjaman online dari bulan Desember 2018 hingga Juli 2019 terdapat 21 kasus dengan 177 aplikasi pinjaman online.
Tindakan penagihan melanggar kode etik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), peraturan OJK tentang Perlindungan Data Konsumen Jasa Keuangan, dan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Pemerintah dalam hal ini sudah seharusnya mengatur dan mengawasi tindakan-tindakan pengusaha penyedia jasa online yang melanggar hak atas rasa aman bagi masyarakatnya, seperti yang telah dituangkan dalam pasal 30 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”
Add Comment