Catatan Akhir Tahun Publikasi Tak Berkategori

Catahu 2018 : “HAM TIDAK LAGI SENDIRI, OPTIMISME DIBALIK BURUKNYA PENEGAKKAN HUKUM DI RIAU”

Terhitung sejak awal 2018, beberapa ancaman dan pengusiran terjadi bagi kelompok minoritas berbasis agama seperti Jemaat Ahmadiyah dan kelompok orientasi seksual yang ada di Kota Pekanbaru maupun di daerah lainnya yang ada di Riau. Pelanggaran HAM ini turut dikuatkan oleh Pemerintah melalui suatu kebijakan ataupun sengaja abai dan membiarkan hal tersebut berlangsung. Selain tidak amannya kondisi bertoleransi bagi kelompok rentan dan minoritas di Riau, kondisi yang tidak aman bagi keberlangsungan budaya, ekonomi dan sosial bagi masyarakat adat juga terjadi di Riau. Masyarakat Adat Talang Mamak salah satunya, menghuni sebagian besar wilayah di Indragiri Hulu, justru sekarang Talang Mamak terancam “musnah” atas kepemilikan lahan dan wilayah serta identitas. Diserbu oleh kemajuan zaman serta masifnya pembukaan lahan dan hutan oleh perusahaan perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri Akasia dan pertambangan mineral batu bara serta minyak dan gas.

Sejak Januari 2018 hingga November 2018, ada 127 Pengaduan penerimaan pengaduan dari Masyarakat Pencari Keadilan yang datang ke LBH Pekanbaru, jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya hanya ada 102 pengaduan. Ada 67 perkara perdata dan 60 perkara pidana yang bermuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dari 127 Perkara tersebut tidak semua ditangani oleh LBH Pekanbaru, tercatat hanya 51 perkara yang diberikan jasa bantuan hukum dimulai dari pemberian konsultasi hukum hingga pendampingan baik secara litigasi maupun non-litigasi. Hingga November 2018, masih ada 34 yang sedang ditangani dan sedang berjalan baik di lembaga peradilan maupun yang sudah inkrachtnamun masih menggantung di proses banding atau kasasi ataupun tidak jelasnya proses eksekusi.

Dalam perkara perdata, buruh masih menjadi pihak dominan yang menjadi pencari keadilan. Ada 10 perkara mengenai perselisihan hubungan industrial. Tidak hanya mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, tapi juga perselisihan hak khususnya terkait tidak jelasnya status buruh atau pekerja PKWT atau pekerja kontrak. Selebihnya terdapat kasus pelanggaran fidusia yang terus bertambah yang ditangani dan dampingi. Permasalahan terhadap proses-proses dalam melaksanakan proses eksekusi saat konsumen wanprestasi merupakan fokus utama LBH Pekanbaru. Selain itu kekerasan terhadap perempuan dan ketimpangan sehingga dengan mudah perempuan diintimidasi dan diceraikan menjadi permasalahan yang turut serta di advokasi oleh LBH Pekanbaru.

Dalam perkara pidana, kasus yang didampingi tidak hanya pendampingan Tersangka ataupun Terdakwa, namun juga mendampingi korban. Salah satunya pendampingan yang diberikan  bagi Istri Mendiang Daud Hadi yang mana suaminya di bunuh secara tragis pada dini hari oleh orang tak dikenal. Daud Hadi merupakan aktivis lingkungan yang sehari-harinya bersuara lantang terhadap ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat dan dirinya yang disebabkan oleh perusahaan. 

LBH juga mendampingi kasus kematian janggal yang dialami oleh Cai Hok di Batam. Cai Hok merupakan terduga Narkotika yang mati janggal karena meloncat dari lantai 8 Hotel Harmoni di Batam. Keluarga meyakini kematiannya bukan karena meloncat dari gedung dan juga perlu diselidiki lebih lanjut kenapa penyidik yang berada di lokasi tidak mampu mencegah terjadinya kematian tersebut.

Bantuan hukum diberikan kepada Kelompok atau Komunitas minoritas, rentan dan termarjinalkan secara struktural. Ada beberapa kelompok atau komunitas yang di dampingi dan diberikan bantuan hukum secara struktural pada 2018 ini yakni kelompok Masyarakat Adat Talang Mamak, kelompok pekerja seksual, kelompok penyandang disabilitas, Jemaat Ahmadiyah dan kelompok SOGI-SC.

Untuk Advokasi Pengakuan Masyarakat Adat Talang Mamak sejak 2016, LBH Pekanbaru bersama AMAN Indragiri Hulu telah melakukan advokasi kebijakan yang bertujuan untuk pengakuan masyarakat adat Talang Mamak di Inhu. Dengan awalan policy brief yang kemudian disempurnakan dengan Naskah Akademik, yang kemudian dijadikan pedoman ataupun referensi untuk pembuatan Peraturan Daerah yang kemudian berubah menjadi Surat Keputusan. Sejak Januari 2018 telah dibentuk Panitia Pengakuan Masyarakat Adat Talang Mamak yang berfungsi memverifikasi dan memvalidasi semua keterangan dan sejarah mengenai Talang Mamak. Oktober 2018, Sekretaris Daerah Inhu mengatakan tinggal selangkah lagi agar Surat Keputusan Bupati mengenai pengakuan masyarakat Adat Talang Mamak di tanda tangani oleh Bupati Indragiri Hulu.

Terbitnya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 (Perda 10/2015) yang merupakan peraturan daerah mengatur mengenai pengakuan dan pemanfaatan tanah ulayat bagi masyarakat adat yang tinggal di Riau. Awalnya, Perda ini menjadi suatu langkah maju Pemerintah Daerah Riau bersama DPRD Riau dalam pengakuan masyarakat adat di Riau. Namun cita-cita tersebut tidak diiringi dengan pasal pasal yang terdapat di dalam Perda 10/2015 tersebut. Masih ada beberapa pasal yang justru mengesampingkan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat di Riau.

Sehingga bersama Walhi Riau, LBH Pekanbaru yang tergabung dalam Tim Advokasi Lingkungan Hidup menjadi kuasa hukum bagi Para Penggugat yang berasal dari Masyarakat Adat Kenegerian Kampar dan Masyarakat Adat Talang Mamak untuk menguji materi Perda 10/2015 ini ke Mahkamah Agung melalui mekanisme uji keberatan.  Himyul Wahyudi dari Kenegerian Batu Sanggan di Kampar, Darwin dan Supriadi dari Masyarakat Adat Talang Mamak di Indragiri Hulu menggugat Gubernur Riau dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau untuk mencabut ketentuan Pasal 1 angka 11 dan 13; Pasal 10 ayat (1); Pasal 11; Pasal 16 ayat (1); Pasal 19; Pasal 20 ayat (2) Perda 10/2015.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 13P/HUM/2018 tertanggal 31 Mei 2018 yang dibuat Ketua Majelis Hakim, Supandi, bersama dua anggota Is Sudaryono dan Irfan Fachruddin yang memeriksa permohonan, mengeluarkan amar untuk membatalkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Perda 10/2015. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Mineral dan Batubara, UU Minyak dan Gas Bumi serta UU Pokokpokok Agraria. Khususnya Pasal 16 ayat (1), Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum bahwa hal tersebut bertentangan dengan aturan lebih tinggi karena tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan tanah ulayat sebagai sumber kehidupannya.

Transpuan [juga] Berhak Mempunyai Tempat Tinggal

Pasal 31 UU HAM dengan tegas mengatur setiap tempat kediaman siapa pun tidak boleh diganggu. Namun hal tersebut tidak menjamin bahwa seluruh manusia mendapatkan hak tersebut. Transpuan terkadang tidak mendapatkan hak-hak ini. Hal ini tercermin dari kasus penolakan dan pengusiran yang diterima oleh para transpuan yang tinggal di Arengka-Pekanbaru oleh massa yang kebanyakan Ibu-ibu. Dengan alasan tidak senang dengan kehadiran transpuan, massa sebanyak 20 orang pada 20 Oktober 2018 telah mengusir mereka dari rumah kontrakkan yang telah mereka bayar penuh. 

Pemilik kontrakkan tidak pernah merasa keberatan dengan keberadaan mereka di kontrakan miliknya, namun saat kejadian, pemilik kontrakkan tidak dapat berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menuruti keinginan dari massa yang mendesak agar mengusir para transpuan tersebut. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) dan LBH Pekanbaru, permasalahan ini coba dibawa ke Ketua RT sebagai orang yang dituakan dan yang diharapkan dapat mengambil kebijakan. Dalam mediasi tersebut, Ketua RT mencoba menyimpulkan hal-hal yang menjadi keberatan dari Ibu-ibu yang mencoba mengusir para transpuan dari tempat tinggalnya tersebut. Namun, permasalahan tersebut tidaklah benar seperti adanya tindakan asusila yang dilakukan oleh para transpuan di kontrakkan tersebut. Terungkap sebenarnya yang bermasalah hanya dua orang Ibu saja dengan keberadaan transpuan. Sisanya hanya ikut dan tidak mengerti sebenarnya permasalahan sebenarnya. 

Kelompok Minoritas Terus Berjuang Melawan Diskriminasi

Beberapa kelompok minoritas yang terus mendapatkan diskriminasi yakni Kelompok Jemaat Ahmadiyah dan Kelompok SOGI-SC. Sedangkan kelompok disabilitas secara jumlah dikategorikan sebagai minoritas, namun mereka secara hukum sudah dilindungi namun terkadang praktik di lapangan yang justru berbeda, sehingga pada praktiknya, kelompok disabilitas masih mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak manusiawi.

Jika kita bisa berkaca pada standar yang paling mudah dilihat yakni fasilitas umum yang diberikan oleh pemerintah kota Pekanbaru bagi penyandang disabilitas, dinilai masih menyedihkan. Dinas Sosial yang harusnya mempunyai perspektif lebih terhadap Penyandang Disabilitas, masih belum mengerti bagaimana agar infrastruktur ramah terhadap disabilitas. Banyak penyandang disabilitas kesulitan naik tangga bagi yang menggunakan kursi roda. Fasilitas permainan dan Stasiun Bis juga masih belum ramah bagi penyandang disabilitas seperti masih curamnya jalan menuju stasiun dan tidak adanya pegangan di dalam Bis. Selain itu, huruf braille ataupun tulisan peringatan bagi Tuna Runggu dan Tuna Netra masih belum ada. Kota Pekanbaru masih jauh dari kota ramah disabilitas. Pemerintah sebagai regulator dan eksekutor seharusnya lebih memperhatikan disabilitas sehingga menjadi prioritas. Pemerintah masih belum memahami hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas. Kendala yang dihadapi yakni orang yang tertarik dengan isu disabilitas sangat sedikit. Mereka yang tertarik setidaknya membantu kelompok disabilitas, bisa menyebarkan informasi soal apa itu disabilitas. Kelompok disabilitas sendirian akan susah melakukan advokasi. Masih banyak yang menganggap kegiatan disabilitas merupakan pekerjaan yang buang-buang waktu saja.

Kelompok SOGI-SC

Permasalahan dalam kelompok SOGI-SC yakni masyarakat sering menghukum orientasi seseorang. Padahal tidak ada aturan yang bisa menghukum orientasi seseorang. Orientasi lebih kepada perasaan dan ketertarikan. Orientasi tidak salah, karena sesungguhnya itu adalah hak seseorang untuk mengekspresikan dirinya sehingga harus dihargai. Namun menjelang Pemilu 2019 nanti, kelompok ini kerap menjadi sasaran kampanye bagi calon yang bertarung.

Jemaat Ahmadiyah

JAI menjadi korban karena perbedaan penafsiran ditambah adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang menyebabkan JAI menjadi ajaran sesat di Indonesia. Tindakan diskriminasi tidak hanya berupa pengasingan dan pengusiran, namun juga tindakan ancaman hingga percobaan pembunuhan beberapa anggota Ahmadiyah di Riau. Pemahaman tafsir yang berbeda dan mengakibatkan tindakan pelanggaran HAM adalah salah satu penyebab banyaknya tindakan kekerasan yang diterima oleh Jemaat Ahmadiyah. 

Diskriminasi bagi aktivitas peribadatan dan keagamaan terhadap JAI di Riau hingga 2018 semakin bertambah dan tidak ada pengurangan tindakan diskriminatif yang terjadi. Surat Keputusan Walikota Pekanbaru No. 450/BKBPPM/749 pada 6 November 2010 tentang Menghentikan Kegiatan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah menjadi tombol picu bagi tindakan diskriminatif, kekerasan dan anarkis bagi JAI di Riau. Terbukti dua mesjid JAI di Pekanbaru diserang dan tidak dapat digunakan secara aman dan bebas untuk melakukan aktivitas ibadahnya.

Buruh Tidak Sejahtera, Perusahaan Kebal Hukum, Pemerintah Kemana?

Berdasarkan penelusuran melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, perkara Perselisihan Hubungan Industrial terkait kasus pemutusan hubungan kerja yang sudah masuk pada tahap persidangan pada 2018 ada sebanyak 95 kasus. LBH Pekanbaru sendiri menangani 11 kasus didampingi hingga ke persidangan dan 3 kasus lagi hanya ditahap konsultasi dan memilih jalan sendiri dengan berbagai pertimbangan. Namun kasus “warisan” tentang buruh dari 3 tahun sebelumnya masih ada sekitar 4 kasus lagi. 2 kasus soal eksekusi, 1 kasus menunggu putusan PK dan 1 kasus lagi menunggu putusan di Kasasi. Eksekusi di sektor PHI justru menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan hingga kini. Sehingga putusan pengadilan hanya menjadi putusan yang non-executable atau yang tidak bisa dieksekusi.

Tahun 2018 ini LBH bersama Walhi Riau juga melakukan riset advokasi atas kesejahteraan buruh pada perusahaan di sektor Hutan Tanaman Industri yang ada di Riau. Ada beberapa perusahaan yang diriset yakni PT Arara Abadi (PT AA), PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP), PT Balai Kayang Mandiri, PT Sugantara Gaja Pati, PT Ruas Utama Jaya dan PT Sekato Pratama Makmur. Maka dari hasil riset tersebut, di dapatkan bahwa karyawan dibagi menjadi tiga kategori yakni karyawan tetap atau karyawan, karyawan kontrak atau buruh kontrak dan buruh harian lepas atau karyawan borongan. Di tiap kelompok terdapat permasalahan kesejahteraan buruh serta keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang beragam yang sangat timpang satu kelompok dengan yang lainnya. 

Selain itu, laporan posko pengaduan THR tahun 2018 menerima 9 pengaduan yang mewakili 500 orang pekerja dan di dalamnya tidak ada perusahaan dengan tahun sebelumnya. Entah sudah lebih baik atau memang pekerjanya tidak lagi menghiraukan tindakan perusahaan tersebut. Pengaduan THR ini berisi tentang permasalahan seperti THR yang tidak dibayarkan sama sekali, dibayarkan tapi jumlahnya tidak sesuai, dan dibayarkan tidak sesuai dengan waktu yang diatur menurut Permenakertrans No. 6 Tahun 2016.

Perlindungan Perempuan dan Anak

Jika kita bandingkan dengan tahun 2018 ini, menurut data dari P2TP2A Riau, ada sekitar 154 perkara yang masuk ke P2PT2A dan kasus KDRT dan Kejahatan Seksual menjadi paling dominan yang masih terjadi di 2018. Kasus KDRT sebanyak 41 kasus dan Kejahatan Seksual sebanyak 62 kasus. Hal ini juga yang masih dilihat oleh LBH Pekanbaru selama 2018 ini. Untuk kasus kejahatan seksual masih menjadi kasus yang paling banyak baik di 2017 dan 2018. Maka tak heran sepanjang 2018, P2TP2A mencatat ada 62 perkara kejahatan seksual namun tidak ada kasus kejahatan seksual yang naik ke tingkat pengadilan. Dari data Pengadilan Negeri Pekanbaru, ada 9 perkara KDRT yang naik ke tingkat pengadilan, namun tidak ada perkara kejahatan seksual yang berada di tingkat pengadilan Kota Pekanbaru. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi penuntasan perkara kejahatan seksual bagi perempuan di Riau bahkan di Indonesia. Salah satunya tidak ada instrumen pidana yang kuat serta pemahaman dari aparat penegak hukum mengenai kejahatan atau pelanggaran yang menimpa perempuan. Padahal Mahkamah Agung sudah mengambil langkah yang lebih maju terhadap kasus perempuan dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.

Korupsi sektor Infrastruktur dan Dana Desa Rawan Dikorupsi Pemantauan Perkara korupsi pada Pengadilan Tipikor Pekanbaru Tahun 2018

Dalam Pemantauan korupsi per 1 Januari hingga 6 Desember 2018 total perkara yang masuk ke PN Tipikor Pekanbaru berjumlah 63 Perkara dengan 64 Terdakwa dengan berbagai aktor dari ASN 33 terdakwa, BUMN/D 3 terdakwa, swasta 18 terdakwa, Pemerintahan Desa 9 terdakwa, POLRI 1 terdakwa. Dari total perkara yang masuk di PN Tipikor Pekanbaru didapatkan sektor APBD Perjalanan Dinas 5 Perkara, Pungli 4 Perkara, infrastruktur 21 Perkara, Dana Desa 12 Perkara, Penggelapan dana pegawai 3 Perkara, Pendidikan 2 Perkara, Penyelewengan dana BUMN/D 3 Perkara, TPPU 3 Perkara, Penanggulangan bencana 3 Perkara, Anggaran Penerangan Jalan Umum 2 Perkara, Barang dan jasa 5 Perkara.

Dari pemantauan didapati jumlah kerugian negara dari sektor Dana Desa Rp. 23.477.182.133, Pendidikan Rp. 1.500.000.000, Infrastruktur Rp.5. 991.602.815, Penanggulangan bencana Rp. 386.000.000, Penyelewengan Dana BUMN/BUMD Rp. 5.640.000.000, APBD Perjalanan Dinas Rp. 4.830.000.000, Anggaran Penerangan Jalan Umum Rp.693.000.000, dan Pengadaan Barang Rp. 420.205.222 dengan Total kerugian mencapai Rp. 42.937.990.170 (empat puluh dua milyar sembilan ratus tiga puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan puluh ribu seratus tujuh puluh rupiah) dengan 25 kasus.

Penyumbang terbanyak koruptor 2018 adalah dari sektor infrastruktur yakni 5 kasus dengan 21 orang terdakwa. Selain itu Dana Desa menjadi Penyumbang kerugian negara sebesar Rp. 23.477.182.133 (11 Kasus) aktornya adalah mulai dari perangkat desa hingga kepala desa itu sendiri. 

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU-B) Tenayan Raya Penyumbang Baru Jenis Penyakit Untuk Masyarakat

Seperti diketahui sebelumnya bahwa ada 33 perusahaan yang telah diindikasi membuang limbahnya ke aliran sungai siak. Ditambah kemudian masuknya PLTU-B yang notabenenya adalah menggunakan banyak air sebagai bahan utama penghasil uap untuk menghasilkan tenaga listrik. Beberapa partikel yang akan menjadi sumber penyakit baru bagi ekosistem dan biota air, beberapa jenis zat kimia hasil limbah PLTU-B yang diindikasi ada di dalam aliran sungai siak hasil pem- buangan limbah bawah “Bottom Ash”.

Hasil temuan menyebutkan pada saat penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Ling- kungan (KA-ANDAL) pada tahun 2010 diperoleh data lapangan terkait dengan pola penyakit yang paling banyak diderita masyarakat di puskesmas Rumbai berdasarkan data yang dihimpun pada tahun 2009. Terlihat bahwa jumlah penyakit pada tahun 2009 yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yaitu sebanyak 18.204 orang yang menderita penyakit ISPA, peringkat kedua penyakit yang paling diderita oleh masyarakat adalah penyakit radang sendi (Rematoid Arthritis) yaitu sebanyak 4.747 orang penderita dan peringkat ketiga berdasarkan data yang dihimpun yaitu penyakit infeksi kulit yaitu sebanyak 4.732 orang penderita.

Ketiga penyakit tersebut yang menduduki peringkat paling banyak penyakit yang diderita oleh masyarakat. Dari 10 penyakit yang paling banyak, peringkat terakhir paling sedikit adalah penyakit paru-paru basah (Pneumonia) yaitu sebanyak 347 orang penderita. Data yang dihimpun dituangkan dalam Dokumen Adendum Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AN- DAL) yang terbit pada tahun 2013 didapatkan gambaran bahwa terja- di penurunan angkat pada penderita penyakit di Puskesmas Rumbai terlihat dari angka penderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang sebelumnya pada tahun 2009 sebanyak 18.204 pen- derita menurun menjadi 11.345 penderita, kemudian penyakit radang sendi/ Rematoid Arthritis juga terjadi penurunan yang sebelumnya 4.747 menjadi 2.804 penderita, namun terjadi peningkatan terhadap penderita penyakit Paru-paru basah/Pneumonia yang sebelumnya pada tahun 2009 sebanyak 347 penderita meningkat menjadi 498 penderita pada tahun 2013.

Pada tahun 2017 pasca telah beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya yang berkapasitas 2×100 MW pada tahun 2017 didapat jumlah penyakit yang paling banyak diderita masyarakat pada puskesmas rumbai yaitu penyakit terbanyak adalah Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yaitu sebanyak 4.944 penderita, cukup terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 2009 hingga tahun 2017 sejak adanya PLTU, selanjutnya peringkat kedua adalah penderita penyakit Maag yaitu sebanyak 1315 penderita sedangkan untuk penyakit yang paling rendah pada tahun 2017 adalah penderita penyakit darah tinggi/Hipertensi yaitu sebanyak 289 penderita.

Namun menjadi tanda tanya besar semenjak beroperasinya PLTU di sekitar Sungai Siak terdapat 4 penyakit yang sebelumnya belum pernah ada yaitu pada tahun 2009 dan 2013 tidak ada ditemukan penyakit ini, di tahun 2017 kemudian ditemukan ada penyakit yang cukup besar jumlah penderitanya, 4 (empat) jenis penyakit yang paling banyak tersebut adalah penyakit radang tenggorokan/Faringitis yaitu sebanyak 1595 penderita, selanjutnya adalah penyakit Radang Kulit/Dermatitis yaitu sebanyak 1461 penderita dan yang ketiga adalah penderita penyakit Alergi sebanyak 575 penderita. Penderita penyakit paling banyak dialami oleh masyarakat di Puskesmas Rumbai pada tahun 2018. Penyakit paling banyak diderita adalah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yaitu sebanyak 3.767 penderita. Jika merujuk pada data tersebut, penyakit ISPA masih menduduki penyakit paling atas. Jika pada tahun 2009 penderita ISPA yaitu sebanyak 18.204 dikatakan “wajar” dalam artian fase tersebut dan ditahun tersebut 2009-2015 Provinsi Riau menjadi penyumbang kebakaran Hutan dan Lahan yang cukup besar di Provinsi Riau, bahkan sampai ke negara tetangga Malaysia dan Singapura, karena hal inilah penulis berani mengatakan jika “wajar” jumlah yang cukup besar untuk penderita ISPA.

Unduh Versi Lengkap

Catatan Akhir Tahun 2018 : HAM Tidak Lagi Sendiri