Kasus Kriminalisasi yang dialami oleh Pak Bongku akan memasuki agenda Putusan pada hari Senin 18 Mei 2020 di Pengadilan Negeri Bengkalis. Pak Bongku merupakan salah satu masyarakat Adat Sakai yang akan mengelola tanah ulayatnya untuk ditanami Ubi kayu dan Ubi Racun atau Ubi Menggalo yang dapat diolah menjadi Menggalo Mersik salah satu makanan tradisional Masyarakat Adat Sakai.
Kasus ini berawal pada hari Minggu, 3 November 2019, Pak Bongku ditangkap oleh Security PT Arara Abadi, dituduh menebang Pohon Akasia dan Eucalyptus milik PT Arara Abadi. Sejak saat itu Pak Bongku mendekam di Tahanan untuk menjalani proses hukum hingga saat ini.
Pada 24 Februari 2020, Pak Bongku menjalani sidang pertama, Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menggunakan 3 dakwaan alternatif yaitu Kesatu Pasal 92 Ayat (1) huruf a atau Kedua Pasal 82 Ayat (1) huruf b atau Ketiga Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dari ketiga dakwaan alternatif tersebut, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa Pak Bongku terbukti melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah” dituntut 1 tahun penjara dan denda 500 juta.
Selama perjalanan sidang, tidak satupun pasal dalam dakwaan Jaksa yang dapat dibuktikan. Fakta persidangan mengungkapkan bahwa Pak Bongku adalah masyarakat Adat Sakai yang tinggal tidak begitu jauh dari lokasi penebangan. Ahli Masyarakat Adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dalam persidangan menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Sakai sudah hidup lama sebelum Indonesia ada dan tercatat dalam Dokumen LAM Riau. Ahli Pidana Dr.Ahmad Sofian, SH, MA menjelaskan tentang muatan dari UU P3H tidak dapat diterapkan, pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan teroganisir bukan untuk masyarakat Adat atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan. Terstruktur dan teroganisir adalah adanya 2 orang atau lebih melakukan pengerusakan hutan dalam satu waktu tertentu.
Kasus Kriminalisasi Pak Bongku menyita perhatian Publik, Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat mengumpulkan Amicus Curiae dari berbagai kalangan dan diserahkan kepada Majelis Hakim yang menyidangkan Pak Bongku. Salah satu yang memberikan Amicus Curiae adalah Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS yang pernah ikut membahas UU P3H pada saat UU ini dirancang.
Selain itu yang memberikan Amicus Curiae adalah :
- Prof. Dr. Kurnia Warman, SH., M.Hum, Guru Besar Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang;
- Dr. Hayatul Ismi., SH., MH, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Riau;
- Dr. Mexsasai Indra, SH., MH, Dosen Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Riau;
- Dr. Erdianto, SH. M.Hum, Pengajar Hukum Pidana, Lektor Kepala (Associated Professor untuk Hukum Pidana) Universitas Riau;
- Zainul Akmal, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau & Koordinator GUSDURian Pekanbaru;
- Grahat Nagara, S.H., M.H, Pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Pengajar Hukum Agraria Sekolah Tinggi Hukum Jentera;
- Roni Saputra, S.H., M.H, Peneliti Hukum Yayasan Auriga Nusantara;
- Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas;
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM);
- Perkumpulah HuMa;
- Lokataru Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lokataru Law & Human Rights office);
- Komisi Untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS);
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Para pemberi pendapat hukum (Amici Curiae) berkesimpulan bahwa UU P3H tidak dapat diterapkan kepada Pak Bongku yang duduk dalam kursi pesakitan atau terdakwa. Masyarakat Adat harus dilindungi oleh Negara dan diakui keberadaannya yang hidup turun temurun.
Amicus Curiae (sahabat pengadilan) adalah pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini dalam bentuk brief. Di Indonesia Amicus Curiae eksis dalam kasus kasus yang menjadi perhatian publik dan membantu pengadilan untuk memperoleh informasi lebih dalam terkait perkara yang sedang diadili.
Selain Amicus Curiae tersebut, publik juga merasa terpanggil untuk memberi dukungan kepada Pak Bongku. Dukungan dihimpun dengan mengumpulkan tanda tangan dari Petisi Online https://www.change.org/Bebaskanbongku hingga saat ini sudah 5.026 tanda tangan terkumpul dan diserahkan kepada Majelis Hakim. Dukungan ini akan bertambah menjelang Putusan terhadap Pak Bongku dibacakan. Dukungan lain dapat dilihat dari berbagai lini media sosial dengan menyertakan Hastag #bebaskanbongku.
LBH Pekanbaru yang mendampingi Pak Bongku selama menjalani proses hukum sejak kasus ini bergulir mengungkapkan bahwa undang undang P3H hanya tepat digunakan bagi perusahaan besar, cukong dan pelaku perusakan hutan dengan skala besar. UU P3H tidak tepat digunakan bagi masyarakat tempatan atau masyarakat Adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan, alam, lingkungan dan hasil pertanian.
Dalam tuntutan dan Replik Penuntut Umum menyebutkan bahwa perbuatan Pak Bongku mengakibatkan berkurangnya Volume Panen PT Arara Abadi, Negara juga dirugikan karena setiap Perizinan yang diterbitkan akan memberi pemasukan kepada Negara dalam berupa Pajak. Jaksa Penuntut Umum tidak membuktikan berapa kerugian PT Arara Abadi dan Kerugian Pajak Negara. Pada tahun 2019 DPRD Provinsi Riau menemukan ada pengemplangan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) oleh Group Sinar Mas yang di dalamnya termasuk PT. Arara Abadi senilai Rp400 Miliar lebih.
Saat ini, penegakan hukum perusakan hutan hanya mampu menyasar pada orang perorangan yang miskin dan buta hukum yang hanya menggunakan lahan untuk bertanam tanaman tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari hari. Data Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau menyebutkan, pernah melaporkan 190 perusahaan tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP. Pansus menghitung, dari potensi pajak di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi ada sekitar 1 juta hektar Perusahaan yang mengokuptasi kawasan hutan yang dijadikan perkebunan dan paling besar dikuasai oleh perusahaan. Bukan hanya mengeruk kekayaan bumi dan menimbulkan banyak kerusakan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak pernah membayar pajak kepada negara selama menguasai hutan. Hal ini diketahui dari banyaknya perusahaan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hasil pansus ini tidak diketahui perkembangannya bagaimana dan belum ada perusahaan yang ditertibkan izin serta terkesan dibiarkan mengelola kawasan hutan secara ilegal yang secara nyata bertujuan untuk komersil.
Hal ini tentunya tidak sebanding dengan apa yang dilakukan pak bongku untuk kehidupan sehari hari menjadikan Terdakwa saat ini harus duduk di kursi pesakitan karena menebang Pohon dengan luasan 0,5 Ha dan berdasarkan Surat Tuntutan Jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa dari perbuatan terdakwa makan Volume Panen PT Arara Abadi menjadi berkurang. Apakah Penegakan Hukum saat ini mementingkan Kepentingan Korporasi?
Pak Bongku adalah seorang masyarakat yang buta hukum yang kesehariannya bertani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Penghasilan Pak Bongku tidak lebih dari Satu Juta Rupiah dalam sebulan dan Pak Bongku dengan penghasilan tersebut harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Pak Bongku merupakan tulang punggung keluarga. Keadaan ini semakin menambah beban keluarga Pak Bongku karena harus memenuhi panggilan hukum dan juga sebagai warga Negara yang baik Pak Bongku selalu kooperatif sejak diperiksa di tingkatan kepolisian sampai pada persidangan. Selama Pak Bongku menjalani proses hukum, ia harus meninggalkan seorang istri dan empat orang anak serta seorang cucu. Karena kehilangan tulang punggung keluarga, istri dan kedua anak tertuanya terpaksa memungut berondolan sawit di kebun masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Timpangnya penegakan hukum yang menangkap masyarakat yang menebang di tanahnya sendiri sebagai pelaku kejahatan Perusakan Hutan menyebabkan LBH Pekanbaru hadir untuk mendampingi Pak Bongku yang merupakan orang miskin dan buta hukum untuk mendapatkan keadilan dan terciptanya prinsip persidangan yang fair.
Berdasarkan hal tersebut, kami yang tergabung dalam Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat meminta kepada Majels Hakim yang menyidangkan Pak Bongku untuk dapat memberikan keadilan bagi Pak Bongku dan masyarakat Adat. Jangan jadikan hukum itu sebagai alat untuk memenjarakan orang- orang miskin dan buta hukum serta jangan jadikan hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
14 Mei 2020
Hormat Kami,
KOALISI PEMBELA HAK MASYARAKAT ADAT
Narahubung:
Kordinator :
Eko Fambudi (0823 9224 8568)
LBH Pekanbaru:
Rian Sibarani (0812 7843 1163)
Noval Setiawan (0852 7873 5200)
KOALISI PEMBELA HAK MASYARAKAT ADAT
- JOHN HENDRI., S.H., M.H (Akademisi)
- DEDE KURNIA EKA SATRIA
- AKSI KAMISAN PEKANBARU
- WALHI RIAU
- FITRA RIAU
- SENARAI
- LINGKAR HIJAU PESISIR (LHP)
- JMGR Wilayah Bengkalis
- Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyah) STAIN Bengkalis
- GMI Bengkalis
- Komunitas Sanggar Anak Pulau
- HMI Komisariat STAIN Bengkalis
- BEM Politeknik Negeri Bengkalis
Mereka sudah sedemikian rupa ditindas, negara jadi masalah; tidak melindungi hak hidupnya
Mantap….
Lanjut saudara ku
Berbemo tetap memperhatikan jaga jarak asik juga di pandang